Takengon, 24 September 2025 – Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kehutanan menggelar Temu Penyuluh Kehutanan dengan tema “Peran Penyuluh Kehutanan dalam Konservasi Gajah untuk Mendukung Program PECI” di Conservation Response Unit (CRU) Daerah Aliran Sungai Peusangan, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Kegiatan yang melibatkan 50 penyuluh kehutanan dari berbagai instansi ini merupakan bagian dari upaya mendukung Peusangan Elephant Conservation Initiative (PECI), program konservasi gajah Sumatera yang diluncurkan atas dukungan penuh Kementerian Kehutanan.
Program PECI sendiri merupakan tindak lanjut dari permintaan Raja Charles III melalui WWF kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendukung upaya konservasi gajah Sumatera. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni telah menetapkan dua blok dari 98.000 hektare lahan hutan tanaman industri PT THL milik Prabowo Subianto di Takengon, Aceh Tengah, sebagai sanctuary gajah Sumatera. Blok pertama seluas 21.000 hektare dihuni sekitar 27 individu gajah, sementara blok kedua seluas 14.000 hektare menjadi habitat 40-50 individu gajah.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Kehutanan, Drh. Indra Exploitasia Semiawan, M.Si, menekankan pentingnya peran penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak dalam pemberdayaan masyarakat untuk mendukung konservasi gajah. “Penyuluh kehutanan memiliki kedudukan strategis sebagai fasilitator, edukator, dan pendamping masyarakat. Mereka mampu menjembatani kebijakan dengan praktik lapangan yang berkelanjutan,” ujar Indra dalam acara yang juga dihadiri Anggota DPR Komisi IV RI, Ir. H. T. A. Khalid, MM.
Realitas di lapangan menunjukkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Data menunjukkan bahwa 80 persen populasi gajah berada di luar wilayah konservasi, sementara 12 desa berbatasan langsung dengan lahan konservasi gajah. Ismahadi, Penyuluh Kehutanan KPH Wilayah III Bener Meriah, menyampaikan kondisi nyata dimana “manusia sudah masuk ke habitat gajah, sehingga gajah memiliki insting untuk berkunjung balik ketika ada pembukaan lahan.” Fenomena ini diperparah oleh sistem feromon gajah yang membuat mereka selalu kembali ke daerah jelajah semula, menciptakan siklus konflik yang berulang.
Masyarakat lokal juga menyuarakan kekhawatiran mereka melalui Sutarto, ketua adat desa Bener Meriah, yang mengeluhkan dampak ekonomi akibat kerusakan tanaman oleh gajah. “Masyarakat sudah tidak bisa menanam apa-apa karena terus-menerus mengalami gangguan dari gajah,” ungkapnya, seraya meminta solusi konkret berupa relokasi gajah yang mengganggu aktivitas pertanian warga. Sementara itu, Sri Wahyuni dari PKSM KTH Uber-uber dan Mesidah menekankan pentingnya melindungi kawasan tradisional yang menjadi ladang penggembalaan, sambil mengingatkan bahaya ekspansi perkebunan sawit yang mengancam habitat gajah dan ruang hidup masyarakat adat Gayo.
Keunikan program ini terletak pada pendekatan komprehensif yang menggabungkan aspek konservasi, ekonomi, dan sosial budaya. Davina Veronica, penggiat konservasi yang bertindak sebagai “jubir satwa”, memfasilitasi interaksi langsung peserta dengan gajah melalui kegiatan berkenalan, bermain, dan memandikan gajah. Pendekatan experiential learning ini dirancang untuk membangun empati dan pemahaman mendalam tentang peran gajah sebagai umbrella species yang vital bagi keseimbangan ekosistem hutan tropis dan mitigasi perubahan iklim global.
Tantangan implementasi program tidak dapat diabaikan, terutama terkait kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur. Dinas Kehutanan Aceh mencatat memiliki 1.400 tenaga Pengaman Hutan (Pamhut) dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) yang telah diangkat menjadi Penyuluh Kehutanan PPPK, namun masih ada 400 personel yang belum terangkat. Dengan luas kawasan hutan Aceh mencapai 3,5 juta hektare dan tutupan hutan 700 ribu hektare, ketersediaan tenaga penyuluh Kehutanan yang terdiri dari 52 Penyuluh Kehutanan PNS dan 33 Penyuluh Kehutanan PPPK masih belum memadai untuk mengcover seluruh area konservasi yang membutuhkan pengawasan intensif.
Program PECI yang melibatkan kolaborasi antara Kementerian Kehutanan, WWF, akademisi, dan masyarakat lokal ini diharapkan menjadi model terobosan dalam upaya mencegah kepunahan gajah Sumatera. Dengan visi “Hutan Lestari, Gajah Terlindungi, Masyarakat Sejahtera”, program ini tidak hanya fokus pada aspek konservasi, tetapi juga pengembangan ekonomi berkelanjutan melalui pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan skema Perhutanan Sosial yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Komitmen presiden untuk menyediakan lahan untuk konservasi gajah, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga kelestarian spesies yang pernah menjadi simbol kejayaan Kerajaan Aceh dengan populasi 1.000 ekor di abad ke-17, yang kini menyusut drastis menjadi hanya 600 ekor di seluruh Aceh.